by

Berjalan Kaki Puluhan KM ke Sekolah, Hingga Pelesiran Ke Eropa

Penulis: Indi La’awu

Jalan hidup setiap anak manusia yang digariskan Sang Mahapasti, tak seorangpun bisa menebak. Hari ini seseorang bisa saja berada di roda paling bawah, namun esok siapa yang tau. Puluhan tahun lalu, tepatnya ditahun 1970 di tanah Jeneponto yang terkenal dengan kuda, seorang anak lelaki ditakdirkan hadir di muka bumi membawa segala kisah hidup yang digariskan.

Sukri Nur, lahir dari pasangan petani sekaligus pedagang dari 9 bersaudara, harus mengenyam pahit dan manisnya hidup. Pentingnya pendidikan tidak menyurutkan langkah kaki kecilnya menempuh jarak berpuluh kilometer setiap harinya ditengah hutan, dan persawahan, terkadang ia harus berjalan kaki sendirian. Jika sedang beruntung maka ia akan berjalan kaki bersama tema-temannya ke sekolah. Tak pernah mengeluh, terlebih sekolah yang ia datangi adalah Sekolah Dasar favorite, ditambah doktrin dari orang tua “bahwa pendidikan merupakan modal hidup”.

“Terkadang saya berjalan kaki bersama teman, kadang saya sendiri. Itu mulai kelas dua SD sampai tamat,” ujarnya menewarang menembus ruang waktu dimasa kecil.

Jauhnya jarak kesekolah membuat Sukri kecil harus merelakan sepatu kesayangan rusak begitu cepat. Kalau sedang sayang-sayangnya dengan sepatu miliknya, sepatunya akan dijinjing pergi dan pulang sekolah dan membiarkan telapak kaki kecilnya bersentuhan dengan tanah dan bebatuan.

“Jadi sepatu kita itu, haknya duluan yang habis karena perjalanan yang jauh. Untuk mensiasati biar haknya tidak cepat habis, saya menjinjing sepatu saya, nanti sampai disekolah baru dipakai, pulang sekolah dijinjing lagi,” kenangnya dengan seutas senyum kecil.

Bukan hanya itu, saat malam tiba ia ditemani lampu pelita untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Namun hal itu tidak lantas menjadi alasan untuk bermalas malasan belajar dan mengerjakan tugas.

Lelaki berkulit putih ini, saat itu hanya menjalankan amanah orang tuanya untuk mengutaman pendidikan. Ia tidak tau, jika pendidikannya didimensi waktu yang lain membawanya hingga ke negeri eropa.

“Kalau saya malas ke sekolah, orang tua saya pasti marah,” katanya.

Sepulang sekolah, ia tidak lantas beristrahat seperti anak pada umumnya. Ia sisingkan lengan bajunya untuk membantu ayah dan ibunya menggembalakan sapi dan kuda hingga warna jingga terukir dilangit sore. Hal ini dilakoninya hingga menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.

Berkali kali Pindah Sekolah Karena Pekerjaan Orang Tua

Melakoni profesi selaku pedagang hingga ke Kota Kendari, memaksa mantan Kabag Kesra Pemda Konawe ini untuk berpindah-pindah sekolah. Sukri Nur H.N S.Ag., M.Si harus rela pindah sekolah dari MTs Jeneponto ke MTs Kendari di Bumi Anoa.

“Orang tua saya juga berdagang lima bahan pokok di Pasar Sentral Kota Kendari, jadi kami membawa beras dan mendrop kentang, wortel, kubis, dan bawang dari Jeneponto itu dibeberapa mobil truk, dan saya tidur di atas tumpukan dagangan itu,” kenangnya.

Meskipun demikian, orang tua dari lelaki yang lahir dibulan Februari ini tidak ingin anaknya putus sekolah, dengan konsekuensi harus pindah-pindah sekolah. Ia akhirnya menyelesaikan sekolah pendidikan menengah di SMP Muhammadiyah Kendari, kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Kendari, dan kembali harus pindah sekolah di Madrasah Aliyah Makassar. Berpindah-pindah sekolah tidak berarti anak dari pasangan H. Nurdin dan Hj. Bunga (Almarhumah), pasif dari kegiatan organisasi. Di MA anak keempat ini mulai berkenalan dengan organisasi, Pramuka menjadi organisasi pertama yang dikenalnya, hingga menjadi pembina pramuka.

Menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas, ia kemudian kembali ke Kota Kendari untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sedikit mengiris sudut hati kecilnya, jika mengingat saat dirinya akan memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi, dikarenakan saat itu orang tuanyalah yang mendaftarkan dirinya di IAIN Kota Kendari.

“Saat itu saya nakal, tapi bagaimanakah nakal-nakalnya remaja yang sedang mencari jati diri. Orang tua kemudian yang daftarkan saya ke IAIN. Orang tua selalu bilang, kalau mereka tidak selamanya ada untuk mendampingi kami anak-anaknya dan pendidikan bisa jadi bekal hidup untuk kami,” katanya dengan mata berkaca kaca.

Semasa belajar di IAIN, dirinya sibuk mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi diantaranya sebagai Ketua HMJ, Ketua Umum Senat Mahasiswa, dan Ketua HMI Cabang Kendari. Dengan organisasi yang diikutinya, langkah kakinya semakin jauh, bukan hanya menempuh puluhan kilometer jalan setapak membelah sawah dan hutan ke sekolah, atau jalan Jeneponto ke Kota Kendari tetapi langkah itu jauh mengelilingi Indonesia.

“Itulah kelebihan dari berorganisasi yang saya rasakan, saya bisa berkeliling Indonesia studi banding sampai ke Papua sana,” bebernya.

Bukan hanya organisasi, untuk menambah wawasan dan mengasah pengetahuannya pria beralis tebal ini juga menjadi asisten dosen dari semester 7 hingga semester akhir dimasa kuliahnya. Tidak berhenti sampai disitu, ayah dari Shalsa Qur’ani Ainun Sukri selepas wisuda, tetap aktif mengajar.

Terjun ke Dunia Politik dan NGO

Terus mengembangkan potensi diri, kali ini suami dari Muharni Rasjid ini terjun ke dunia politik. Tak tanggung-tanggung organisasi politiknya dimulai di Partai Umat Islam sebagai Ketua Kota Madya Kendari, berlanjut di Wakil Ketua I PKB Kota Madya Kendari, kemudian beralih di P3 Reformasi Konawe yang juga termasuk salah satu pendiri.

“Setelah saya di P3 Reformasi Konawe, saya kemudian menetap di Konawe,” katanya.

Selaian di partai, ia juga aktif di LSM STCW selaku Koordinator Tim Investigasi, sekaligus sebagai Ketua Forda NGO, serta selaku pendiri dan ketua yayasan Media Nusantara di Kab Konawe, terbit setiap minggu selama tiga tahun 2003-2006.

Besar harapannya untuk melenggang ke parlemen, namun apa dikata garis tangan berkata lain.

Berharap Jadi Anggota DPRD, Garis Tangan Menjadi PNS

Meski aktif didunia politik dan NGO, namun garis tangan membawanya ke takdir yang berbeda dari apa yang dilakoninya. Ditahun 2006 setelah ia menyelesaikan pendidikan magister ditahun 2005, ayah tiga orang anak ini lulus sebagai salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilingkup Dinas Pendidikan Kabupaten Konawe.

“Sebenarnya niat saya tidak pernah mau masuk jadi PNS, memang saya punya target itu di DPR karena saya besar di partai. Tapi nasib mengatakan lain, bahwa memang garis tangan saya harus di birokrasi,” jelasnya.

Awal masuk di birokrasi, ia bertugas di SMP 1 Unaaha selaku guru. Sesaat setelah SK 100 persen terbit, nota tugas sebagai staf di Diknas Kabupaten Konawe dikeluarkan. Tidak membutuhkan waktu lama, ditahun 2007 ia dipercaya untuk melaksanakan study banding mengenai otonomi daerah mewakili Diknas Konawe ke Singapura, Malaysia, dan Thailand. Setelahnya, ditahun 2008-2009 ia menjabat sebagai Kepala Seksi Pendataan.

Perjalanan karier ayah dari Shivia Saiza Sukri terus menanjak, ditahun 2011-2016 bergeser sebagai Kepala Seksi Sarana dan Prasarana, dan ditahun 2015 ia berangkat ke beberapa negara di Eropa untuk study banding tentag kebudayaan khususnya jejak kebudayaan tolaki, diantaranya di Belanda, Prancis, Italy, Spanyol, dan Belgia.

Kemudian ditahun 2016, ia dilantik menjadi Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah. Tahun 2018 akhir, ia kembali menaiki anak tangga kariernya di dunia birokrasi selaku Plt Kabag Kesra di Pemda Konawe, tidak menunggu lama April tahun 2019 ia dilantik sebagai Kabag Kesra hingga April 2020. Selanjutnya, April 2020 ia dilantik sebagai Kabag Humas dan Protokoler Pemda Konawe sampai saat ini.

Pada akhirnya, lelaki yang hobi olahraga ini harus bersyukur dengan garis tangannya. Dari dunia birokrasilah, ia melanglang buana bukan hanya di Indonesia tapi dunia. Ia sangat mencintai pekerjaannya, bukan hanya karena langkah kakinya semakin jauh, tetapi tantangan dari pekerjaannya itu sendiri.

Ia berharap sebagai abdi negara yang telah merasakan pahit manisnya bergelut di dunia birokrasi dengan melayani masyarakat dapat terus memberikan yang terbaik, utamanya dalam hal pelayanan.

“Semakin banyak kita melayani masyarakat semakin kita menikmati pekerjaan itu. Cita-cita kedepan, bagaimana kita bisa menjadi manusia yang memanusiakan orang,” harapnya.

Keluarga Itu Segalanya

–Harta yang paling berharga adalah keluarga—potongan lagu ini sangat menggambarkan arti keluarga bagi seorang Sukri Nur, baginya keluarga adalah segala-galanya. Ia tak mungkin mencapai dititik saat ini, jika tak ada dukungan dari keluarga, orang tua, istri dan anak-anaknya merupakan support system terbesarnya.

“Keluarga itu adalah segala – galanya, pertama tuhan yang kedua itu keluarga. Kalau mengukur kebahagiaan, bagi orang yang sudah berkeluarga kebahagiaan yang sebenarnya itu pada saat kita berkumpul dengan keluarga, ada istri dan anak-anak,” tutupnya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *